Beranda | Artikel
Bahaya Seseorang Yang Tidak Menerima Keputusan Allah dan RasulNya
Minggu, 13 Januari 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Muhammad Nur Ihsan

Bahaya Seseorang Yang Tidak Menerima Keputusan Allah dan RasulNya merupakan rekaman kajian Islam yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A. dalam pembahasan Syarah Aqidah Thahawiyah karya Imam Ath-Thahawi rahimahullah. Kajian ini disampaikan pada 27 Rabbi’ul Tsani 1440 H / 04 Januari 2019 M.

Status Program Kajian Kitab Syarah Aqidah Thahawiyah

Status program Kajian Syarah Aqidah Thahawiyah: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Jum`at pagi, pukul 06:00 - 07:30 WIB.

Download kajian sebelumnya: Akal Harus Mengikuti Dalil

Kajian Tentang Bahaya Seseorang Yang Tidak Menerima Keputusan Allah dan RasulNya – Syarah Aqidah Thahawiyah

Pada pertemuan yang sebelumnya berkaitan dengan berserah diri dan pasrah kepada hukum Allah dan RasulNya. Kesimpulannya bahwa tidak akan sempurna agama seseorang kecuali bila dalam beragama, didalam melaksanakan atau meyakini dan melaksanakan syariat Islam ini, dia bangun di atas sifat berserah diri, kepasrahan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia meyakini bahwa apa yang dijelaskan oleh Allah, apa yang difirmankan oleh Allah dan apa yang disabdakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebenaran yang mutlak yang wajib dia terima dan itu pasti benar. Kendati akal dan logikanya tidak bisa memahami atau tidak sampai dalam memahami hikmah dan hakikat dari apa yang dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Tapi kita yakin bahwa semua hal itulah benar, semua hal itu adalah haq, karena semua itu adalah wahyu dari Allah dan juga sabda Rasul yang merupakan wahyu yang wahyukan kepadanya.

Kemudian kita tidak boleh memaksakan akal dan logika kita untuk memahami, mendalami sesuatu yang tidak akan mungkin kita cerna dan kita fahami. Seperti perkara-perkara yang ghaib dan juga hal-hal yang berkaitan dengan sifat sifat dan hakikat hari akhir, perihal dan awalnya, tentu semua hal itu kita yakini kebenarannya dan kita serahkan hakikat yang sesungguhnya kepada Allah. Akan tetapi kita diperintahkan untuk mentadabburi Al-Qur’an, untuk menghayati Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pedoman dan cahaya yang menerangi jalan kehidupan kita.

Barangsiapa yang memaksakan akalnya untuk memahami atau mendalami sesuatu yang tidak akan mungkin dia bisa dalami dan dia fahami, yang terlarang untuk dia dalami, maka sungguh akalnya akan rusak, sungguh imannya akan melenceng dan tauhidnya akan ternodai. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah bahwa barangsiapa yang ingin mengetahui sesuatu yang tidak diperlihatkan atau suatu yang dilarang untuk diketahui dan pemahamannya tidak merasa puas dan cukup dengan sikap berserah diri dan pasrah kepada hukum Allah, keinginannya itu akan menutupi dia dari tauhid yang tulus dan makrifah yang murni dan iman yang shahih.

Konsekuensi atau efek negatif dari perbuatan tersebut maka kehidupan dan tauhidnya akan bermasalah. Juga makrifah dan keilmuannya juga akan bermasalah serta keimanan yang juga tidak akan sempurna. Dan benar.

Dari sini kita memahami apa yang telah pernah dijelaskan bahwa salah satu sikap dan prinsip utama ahlussunnah wal jama’ah didalam beragama, mereka selalu pasrah dan berserah diri kepada keputusan Allah dan RasulNya dan tidak memaksakan akal untuk memahami sesuatu yang tidak mampu dia fahami dan dia ketahui. Ciri khas ahlussunnah wal jama’ah adalah meyakini, mengimani apa yang disampaikan oleh Allah dan RasulNya bahwa semua hal itu adalah benar dan akal mereka tidak mampu memahami semua rahasia dan hikmah yang terkandung dalam syariat Allah dan apa yang sampaikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka tugas kita mengimani dan meyakini. Karena kebenaran iman seseorang tidak tergantung kepada pemahaman dia terhadap hikmah dan hakikat terhadap syariat atau didalam syariat tersebut. Akan tetapi yang wajib adalah mengimani dan meyakini. Adapun memahami hakikat dan hikmah yang terkandung dalam syariat Allah maka itu sesuatu yang akan menambah iman. Tapi bukan syarat sah atau shahihnya keimanan seseorang. Terlebih lagi hal-hal yang berkaitan dengan tauhid, hal-hal yang berkaitan dengan makrifah kepada Allah, hal-hal yang berkaitan dengan perkara atau perihal dan ahwal yaumul qiyamah dan juga termasuk dalam hal ini ya tentang alam barzah. Perkara yang ghaib.

Maka pemikiran seseorang, keilmuan seseorang akan rusak, tauhidnya akan ternodai dan imannya akan ternodai juga bila dia tidak pasrah, bila dia tidak puas dengan apa yang dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang membedakan antara ahli sunnah dan ahlul bid’ah wal ahwa adalah sifat pasrah dan berserah diri kepada hukum Allah, hukum RasulNya, pada syariat Allah, kepada RasulNya. Ini yang membedakan mereka diantara sekian banyak hal-hal yang membedakan ahli sunnah dan ahlul bid’ah wal ahwa.

Maka, kita pertanyakan dan juga kita introspeksi diri kita masing-masing. Sudahkah kita betul-betul menjadi ahli sunnah yang sejati? Yang setia kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam atau hanya sekedar penamaan saja? Bila kita mendapatkan syariat Allah, syariat Rasul, bila kita mendapatkan Qalallah wa Qala Rasul, bila kita mendapatkan firman Allah sabda Rasul shallallahu ‘aalaihi wa sallam dalam segala aspek kehidupan, dalam segala perkara agama, pada masalah aqidah, akhlak, ibadah, dan segala hal, bagaimana sikap kita? Bagaimana sikap kita terhadap semua hal itu? Kita membantah, kita menolak atau menerima dengan segala kepasrahan dan berserah diri bahwa itu adalah haq. Kalau ada didalam hati kita secuil keraguan, sedikit keraguan terhadap apa yang disabdakan oleh Rasul yang difirmankan oleh Allah, kemudian akal kita masih berusaha merekayasa menganalogikan, memaksakan untuk memahami suatu yang tidak mampu kita fahami, kemudian juga mentakwil, menyelewengkan makna, maka dipertanyakan iman kita, dipertanyaan tauhid kita. Berarti penamaan ahli sunnah itu hanya kebohongan belaka. Tidak benar. Karena fakta tidak sesuai dengan ucapannya.

Nama dan istilah bisa jadi berubah, tapi hakikatnya tidak akan berubah. Casing bisa berubah, penampilan bisa berubah, tapi hakikat tidak akan berubah. Oleh karena itu hendaknya kita lebih memperhatikan permasalahan hakikat dan juga bukan sekedar hanya memperhatikan casing dan penamaan saja. Sering kita mempermasalahkan si fulan, menamakan si fulan dan dan seterusnya. Dia hanya sibuk dengan hal-hal casing, hal-hal yang tampak, hal-hal yang sekedar penamaan dan istilah. Tapi hakekatnya tidak pernah dibahas. Kalaupun dinamakan ahlussunnah wal jama’ah, kalau dinamakan pengikut salafush shalih, tapi ternyata aqidahnya bertentangan dengan aqidah ahlussunnah. Ternyata perilaku dan sifatnya bertentangan dengan sifat para salafush shalih, keyakinannya berbeda dengan keyakinan Rasul, para sahabat, para salafush shalih dan Imam-Imam ahli sunnah. Maka tidak ada arti. Menemukan ahli sunnah tapi pemikirannya takfiri misalnya. Menamakan ahli sunnah tapi lebih doyan melakukan bid’ah dan mengikuti hawa nafsu. Menamakan ahli sunnah tapi tidak pasrah kepada keputusan Allah dan RasulNya. Menamakan ahlussunnah tapi ayat-ayat Allah ditakwil, sabda-sabda Rasul diselewengkan untuk ditolak. Ini bukanlah ahli sunnah yang sesungguhnya.

Kenapa orang yang tidak pasrah, tidak puas dan cukup dengan apa yang dijelaskan Allah dan RasulNya tauhidnya bermasalah?

Karena hakikat tauhid adalah kita meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla yang berhak diibadahi, dan konsekuensinya adalah Allah yang hanya wajib ditaati, dilaksanakan perintahNya dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila seseorang tidak menerima keputusan Allah dan RasulNya, bila seseorang tidak menerima tuntunan Allah dan RasulNya, maka berarti yang diikuti adalah hawa nafsunya.

Mengikuti hawa nafsu berarti telah menjadikan hawa nafsu sebagai Ilah bagi dia. Hamba, menjadi budak hawa nafsu. Kalau seandainya dia menjadi hamba Allah yang tulus tauhidnya, dia akan taat, dia akan melaksanakan perintah Allah, meninggalkan laranganNya. 

Seorang yang tidak merasa cukup dan puas dengan apa yang dijelaskan oleh Allah dan RasulNya, maka hidupnya akan terombang-ambing, kebingungan, keraguan, itu pasti. Sebagaimana kata Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi.

Sehingga dia berada dalam keraguan, dalam kebimbangan antara kufur dan iman. Ini adalah konsekuensi dari orang-orang yang tidak merasa puas, tidak cukup dan pasrah terhadap apa yang dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Dia selalu berada dalam keraguan, dalam kebimbangan. Antara membenarkan dan mendustakan, antara menetapkan dan mengingkari, ini sifat pengekor hawa nafsu. Menjadi budak bagi hawa nafsu. Tidak ada kekokohan dan ketetapan dalam iman dan keyakinan. Sebabnya adalah dia baru bisa menerima bila akalnya memahami hal itu. Datang Qalallah wa Qala Rasul, dia gunakan akal terlebih dahulu, ini benar atau tidak? Sesuai dengan akal kah? Sesuai dengan logika kah? Adapun orang beriman mengatakan, “سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا“. Allah berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّـهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا…

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”…” (QS. 24: 51)

Apa yang menyebabkan kebanyakan manusia dalam beragama itu menjadi orang yang bingung? Nggak jelas mau ikuti yang mana? Keimanan yang gak jelas. Tauhidnya nggak jelas. Bingung, seolah dia kehilangan kompas dalam kehidupan ini. Nggak jelas kemana arah kehidupannya. Kendati dia mungkin dalam ktpnya tertulis muslim, dia dari  keluarga muslim, tapi dia bingung dalam hidup. Dia tidak bisa membedakan mana yang haq dan yang batil, mana yang tauhid mana yang syirik, mana yang sunnah mana yang bid’ah. Semua dianggap kebenaran. Dia tidak mempunyai keteguhan dalam beragama. Dia tidak mempunyai pegangan yang kokoh. Dia akan menjadi pengekor pemikiran, pemahaman apa saja yang menurut logika dia cocok dengan akalnya, enak untuk diikuti. Terlebih lagi bila yang disampaikan itu dikemas dengan ungkapan-ungkapan atau dengan bahasa-bahasa dan retorika yang menipu. Dia akan terombang-ambing. Hari ini mengikuti pemikiran ini, esok  pemikiran yang lain. Warna-warni dalam beragama. Tidak ada ketetapan, bunglon dalam beragama. Akibat dari tidak mau pasrah dan berserah diri kepada Allah dan RasulNya.

Ahli sunnah wal jamaah jauh dari sikap dan perilaku seperti itu. Dan itu terbukti, betapa banyak dari mereka yang merupakan tokoh-tokoh central Ahlul Kalam dan Filsafat, diakhir hidupnya bingung, menyesal. Hidupnya habis semua mempelajari ilmu kalam, filsafat, teologi dan yang sejenisnya. Habis waktunya, sia-sia umur dan waktunya. Sampai mereka tidak tahu apa yang mereka yakini.

Al-Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafi dalam kitab Syarah Aqidah Thahawiyah menukil dari perkataan Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin yang masyhur. Kata beliau tentang ilmu kalam bahwa itu membawa kepada kebingungan dan kerusakan dalam berlogika. Kata beliau, seandainya engkau mendengar pengakuan ini dari orang-orang yang tidak mengenal Ahlul Kalam, sungguh engkau akan mengatakan tentunya seseorang yang membenci sesuatu yang tidak dikenal. Tapi kata beliau, ambillah, dengarlah dari seseorang yang telah menyelami seluk-beluk dan juga teori-teori filsafat dan ilmu kalam itu. Kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan yang hakikatnya bahwa ilmu kalam tersebut tidaklah membawa kepada hakikat kebenaran, makrifat yang sesungguhnya. 

Simak menit ke – 21:52

Simak Penjelasan Lengkapnya dan Download MP3 Kajian Tentang Bahaya Seseorang Yang Tidak Menerima Keputusan Allah dan RasulNya – Syarah Aqidah Thahawiyah


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46381-bahaya-seseorang-yang-tidak-menerima-keputusan-allah-dan-rasulnya/